Gambaran tradisional tentang Antikristus – sosok tunggal yang jahat – mungkin sudah ketinggalan jaman. Tren yang berkembang menunjukkan bahwa kekuatan yang menghambat perkembangan manusia mungkin bukan manusia, melainkan sebuah sistem: khususnya, percepatan perkembangan teknologi maju. Ini bukan sekadar perdebatan teologis; Pertanyaannya adalah apakah alat yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah umat manusia justru menciptakan bentuk kekuatan destruktif yang baru.
Janji Keselamatan Teknologi
Argumen intinya bukanlah bahwa Silicon Valley sengaja membangun kejahatan; sebaliknya, upaya mengejar “kemajuan” teknologi yang tiada henti malah menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Miliarder dan pemimpin teknologi secara terbuka mendiskusikan penciptaan “kecerdasan manusia super” – sistem yang mampu melampaui rasionalitas manusia dan menyelesaikan krisis global. Janji keselamatan ini – masa depan yang terpadu dan rasional – mencerminkan seruan awal Antikristus dalam narasi keagamaan: sosok yang menawarkan solusi cepat dan tegas terhadap dunia yang sedang hancur.
Daya tariknya kuat. Teknologi dihadirkan sebagai kekuatan netral, yang mampu mengatasi kelemahan manusia seperti nafsu, kehancuran, dan perpecahan. Gagasan bahwa mesin dapat menyatukan umat manusia di bawah satu kerangka logis sedang dipromosikan secara aktif. Narasi ini dengan mudah mengabaikan dinamika kekuasaan yang melekat dalam sistem tersebut: siapa yang mengendalikan teknologi, dan untuk tujuan apa?
Bidat Digital: Kekristenan Tanpa Kristus
Aspek yang paling meresahkan adalah menyatunya ambisi teknologi dengan nuansa keagamaan. Beberapa tokoh secara terbuka mendiskusikan “mengunggah” kesadaran manusia ke dalam media digital – yang secara efektif mencari keabadian di dalam mesin. Upaya ini mirip dengan “bid’ah digital”, suatu bentuk eskatologi Kristen yang menyimpang. Kepercayaan tradisional terhadap keselamatan ilahi digantikan oleh janji transendensi teknologi.
Alih-alih mencari penebusan melalui iman, fokusnya beralih pada penciptaan “surga” di dalam silikon. Tujuan utamanya bukanlah untuk mengabdi kepada Tuhan tetapi untuk menjadi dewa – untuk membangun makhluk yang melampaui keterbatasan manusia dan menawarkan bentuk baru kehidupan abadi. Ambisi ini, meski dibingkai sebagai kemajuan, membawa keangkuhan yang sama dengan mitos Antikristus yang asli: keyakinan bahwa umat manusia dapat menciptakan keselamatannya sendiri tanpa campur tangan ilahi.
Sistem sebagai Antagonis
Bahayanya tidak selalu disebabkan oleh niat jahat individu, namun logika yang melekat pada sistem teknologi itu sendiri. Seiring kemajuan teknologi, semakin mengedepankan efisiensi, pengendalian, dan optimalisasi. Nilai-nilai ini, meskipun tampak netral, dapat dengan mudah mengikis peran manusia, menghancurkan ekosistem alam, dan memperburuk kesenjangan sosial.
Sistem ini tidak memerlukan satu sosok Antikristus yang dapat diidentifikasi. Sebaliknya, ia beroperasi sebagai siklus inovasi dan kontrol yang saling menguatkan, secara bertahap membentuk kembali dunia sesuai dengan citranya sendiri. Janji keselamatan menjadi jebakan, ketika umat manusia menyerahkan otonominya demi ilusi keamanan dan kemajuan.
Antikristus yang sejati mungkin bukanlah suatu pribadi atau bahkan suatu entitas yang sadar. Hal ini mungkin hanya sekedar momentum teknologi yang tidak ada habisnya dan tidak terpikirkan, yang menjanjikan keselamatan sekaligus melahirkan bentuk perbudakan baru.
